Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang.
Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
0 komentar:
Posting Komentar